Kanker Stadium Empat Sembuh Tanpa Operasi


PrayNama Saya Ginny Awuy. Saya bekerja sebagai HRD di Rimo Department
Store. Saya tinggal bersama anak saya, Steve, karena sudah lama
suami saya meninggalkan kami berdua bersama WIL-nya (wanita idaman
lain). Tahun 1996, secara tidak sengaja ketika meraba bagian
payudara sebelah kiri, saya mendapati benjolan sebesar kacang merah.
Karena saya banyak membaca perihal tentang kanker payudara, saya pun
menaruh curiga atas gejala ini, sekalipun kekhawatiran itu belum
terlalu menyergap perasaan saya. Waktu terus berlalu, benjolan itu
tidak juga kempes, malah sebaliknya, semakin membesar menjadi
seukuran bola bekel. Tentu saja melihat gejala ini saya semakin
khawatir. Mulailah saya mengambil waktu khusus di rumah selama 1
jam setiap hari untuk berdoa.
Benjolan di payudara saya semakin membesar. Bahkan, benjolan itu
semakin banyak, ada yang besar ada yang kecil, pokoknya tidak
beraturan, menyebar membentuk seperti kembang kol. Selain itu,
kanker ini ternyata cukup memengaruhi stamina saya. Untuk berjalan
dari tempat parkir ke toko, atau dari satu lantai ke lantai
berikutnya, rasanya capai sekali; seperti habis lari jauh. Saya
sendiri, karena takut diketahui orang lain, kalau sudah tak kuat
jalan, saya hanya terdiam mencari sandaran sambil pura-pura melihat
ke bawah. Keadaan ini terus memburuk, tapi saya tidak putus asa.
Saya tetap berdoa dan bekerja walau stamina saya semakin merosot.
Sudah setahun penderitaan mendera, tapi tidak seorang pun yang saya
beritahu. Steve pun tidak, sebab saya khawatir kalau dia sampai
tahu, studinya akan terganggu. Maklumlah, kuliah Steve sudah berada
di semester akhir. Selain itu, alasan mengapa saya tidak
menceritakan penyakit saya ini kepada orang lain karena solusinya
pastilah dokter — operasi. Padahal untuk operasi jelas kondisi
keuangan saya sangat tidak memungkinkan. Tabungan saya hanya 2,5
juta. Uang sejumlah ini rencananya untuk membayar biaya kuliah dan
wisuda Steve. Karena menyadari situasinya seperti ini, kepada Tuhan
pun saya sepertinya mendesak, “Tuhan, pokoknya Tuhan harus sembuhkan
saya tanpa operasi!”
Pertengahan Desember 1997, ketika akan pulang kerja, tempat parkir
ramai sekali. Karena saya mengendarai mobil sendiri, maka cukup
banyak tenaga yang harus saya keluarkan untuk menggerakkan
persneling. Sampai di rumah, karena saya merasa di bagian payudara
yang sakit ada cairan, saya segera masuk kamar dan membuka baju.
Betapa kagetnya, ternyata cairan yang keluar itu darah. Waktu itu
pukul 20.00 WIB. Steve ada di rumah. Karena saya takut ia tahu, maka
saya segera masuk kamar mandi. Betapa semakin terkejutnya saya
karena darah langsung menyembur melalui tiga lubang yang ada di
payudara saya. Darah mancur begitu derasnya. Rasanya sakit sekali,
tapi saya tidak berani berteriak. Saya hanya berdoa dengan kata-kata
yang diulang-ulang, “Darah Yesus, hentikan pendarahan saya!” Saya
khawatir kalau pendarahan itu tidak berhenti hingga membuat saya
pingsan, pasti situasi jadi kacau. Karena saya cukup lama di kamar
mandi, Steve pun mulai curiga. Dari luar ia menyapa, “Ma, kok lama
amat sih, di kamar mandi?”
“Sebentar,” jawab saya.
Waktu Steve memanggil, darah mulai berhenti, tinggal menetes-netes
saja. Sambil tetap duduk, saya arahkan “shower” ke tembok yang penuh
darah dengan harapan Steve tidak curiga dengan apa yang terjadi.
Karena saya lemas dan tidak kuat berdiri, saya minta tolong kepada
Steve untuk membuatkan teh manis. Dalam tempo yang tidak terlalu
lama, Steve sudah menyiapkan teh manis dan segera mengetuk pintu
kamar mandi. Ketika pintu saya buka, Steve nampak kaget melihat
bercak-bercak darah yang menempel di tembok. Setelah menutup pintu,
karena takut banyak gerak dan khawatir darah keluar lagi, maka saya
cepat duduk. Teh langsung saya minum dan hal ini membuat tubuh saya
sedikit lebih segar. Saya lalu pakai kimono dan berusaha sedapat
mungkin untuk membuat kain kimono itu tidak menempel di payudara.
Saya pelan-pelan keluar dari kamar mandi dan langsung berbaring di
tempat tidur. Di pembaringan ini, sekalipun tidak banyak, darah
kembali keluar. Steve duduk di pinggir tempat tidur dengan wajah
yang sangat sedih sambil mengamati tangan saya mengelap darah yang
keluar dengan tissue. Saya lalu bercerita pada Steve secara
kronologis tentang penyakit saya.
Kira-kira pukul 02.00 dini hari, rasa sakit itu kambuh lagi. Padahal
sebelumnya saya sudah minum Ponstan 4 dan Beralgin 2. Sakit itu
begitu luar biasa, sampai-sampai untuk menahan sakit, sprei tempat
tidur saya yang dijepit peniti, saya tarik hingga robek. Karena
sakitnya tidak tertahankan, saya memanggil Steve, “Steve, ayo ke
sini, Mama sudah nggak tahan. Ayo kita berdoa karena Mama merasa
sakit sekali.” Waktu itu saya merintih, “Tuhan tolong, saya sudah
tak kuat lagi. Saya sudah tak sanggup lagi.”
Sungguh ajaib, selesai berdoa, sakit itu langsung reda. Ketika saya
jatuh sakit, sambil menyelesaikan tugas akhirnya, Steve sudah
bekerja di sebuah kantor. Mungkin karena bingung bagaimana mengatur
studi, kerja, dan tanggung jawab untuk merawat saya, usai berdoa
Steve nampak bingung. Untuk memecahkan kebekuan ini, saya bilang,
“Steve kamu besok tetap saja kuliah dan bekerja. Yang penting
‘handphone’ kamu nyalakan terus. Nanti kalau ada apa-apa, Mama akan
hubungi.” Steve pun setuju.
Besoknya Steve berangkat kerja seperti biasa. Setelah Steve pergi,
saya telepon adik saya, Endang, yang bekerja sebagai suster di RS
Fatmawati. Saya menceritakan semua yang telah saya alami, termasuk
kapan kanker itu mulai saya temukan hingga pecah secara mengerikan
semalam. Hari itu juga saya dibawa ke RS Fatmawati. Sementara itu,
Endang menghubungi adik saya yang lain yang ada di Bandung, orang
tua saya yang di Amerika, termasuk bos saya di kantor. Setelah
mereka tahu, keluarga, orang di kantor, semua panik. Mereka terkejut
dan menyatakan rasa herannya karena baru mengetahui penyakit saya.
Tiba di rumah sakit, saya langsung dibawa ke UGD. Usai diperiksa,
hari itu juga saya diopname. Selama dirawat ini, saya selalu
mendengarkan lagu-lagu rohani, membaca buku-buku rohani, dan saya
merasa dikuatkan saat membaca buku “Mukjizat Terjadi Bila Anda
Berdoa”. Di RS, saya dibiobsi dan menggunakan kursi roda karena
kondisi saya sangat lemah. Luka di payudara saya sangat besar dan
sering mengeluarkan darah. Karena keadaannya seperti ini, yang bisa
mengganti kasa yang melekat di luka saya hanya Endang. Suster lain
sudah gemetaran lebih dulu sehingga saya tak yakin kalau dia bakal
berhasil.
Selesai Berdoa Ada Aliran Hangat Di Dada
Setelah dirawat beberapa hari, kondisi saya tak juga membaik. Bahkan
dokter mengatakan pada adik saya, bahwa percuma saja saya dioperasi
sebab menurut hasil pemeriksaan, kanker sudah menjalar ke tulang dan
paru-paru, hanya bagian paru-paru kanan saja yang belum kena. Karena
kondisinya demikian, maka perawatan yang diberikan hanya sekadar
untuk memperbaiki gizi saya. Waktu itu dokter sudah memperkirakan
bahwa kondisi saya akan menurun, menurun, dan meninggal. Kepada adik
saya dokter juga bilang, “Tinggal menunggu harinya saja karena itu
senangkanlah hati kakak kamu.”
Hari itu hari Sabtu. Seperti biasa, sambil menunggu jadwal visitasi
dokter, saya terus mendengarkan lagu-lagu rohani dan membaca buku.
Suatu kali, di buku yang saya baca, dikisahkan ada seorang Bapak
yang sembuh dari sakit jantung selepas berdoa minta jantung yang
baru kepada Tuhan. Pengalaman Bapak ini kemudian saya adopsi. Sebab,
keadaan yang dialami si Bapak mirip benar dengan apa yang saya
alami. Saya kemudian membaca Alkitab dan mulai berdoa, “Tuhan, saya
tahu artinya kanker. Namun Tuhan, saya tahu juga bahwa Tuhan sanggup
sembuhkan saya. Tuhan, gantilah semua organ tubuh saya yang rusak
dengan organ yang baru. Demi nama Tuhan Yesus Kristus, saya sudah
disembuhkan!” Begitu saya mengucapkan “amin”, saya yakin benar bahwa
Tuhan sudah sembuhkan saya 100 persen. Walau benjolan masih ada dan
luka masih menganga, saya yakin Tuhan telah menjawab doa saya.
Tiba-tiba saya merasa di bagian dada saya ada getaran hangat yang
mengalir. Saya gemetaran dan saya langsung menangis tersedu-sedu.
Saya sudah tidak malu lagi menangis di hadapan orang lain. Seketika
itu juga saya mengatakan, “Terima kasih Yesus. Terima kasih Tuhan
sebab Engkau sudah jawab doa saya.”
Pukul 09.00, dokter yang memeriksa saya tiba. Pukul 11.00, dengan
memakai kursi roda, saya dites lagi di USG. Setelah beberapa hari
kemudian, hasil pemeriksanaan keluar dan dinyatakan: tidak ditemukan
lagi kanker di tubuh saya! Mungkin karena tidak percaya, saya
diperiksa lagi secara lebih teliti. Saya menjalani USG termasuk di
bagian perut saya dan hasilnya bagus. Lalu dilakukan “bone scanning”
dari ujung kaki sampai kepala dan hasilnya di luar dugaan: tak ada
kanker lagi di tubuh saya. Dokter tidak percaya, lalu dilakukan
“scanning” ulang dengan alat yang lebih canggih dan hasilnya tetap
sama. Berita ini kemudian saya sampaikan kepada teman saya, Silvia.
Silvia adalah salah satu dari banyak orang yang sangat setia
membesuk saya, membantu, dan juga menceritakan keadaan saya kepada
orang lain. “Astra,” demikian ujar Silvia dengan menyebut nama
panggilan saya waktu kecil, “ini sungguh karya Tuhan Yesus. Tuhan
Yesus sungguh luar biasa!” Ketika saya memberitahukan hal ini kepada
bos saya dan istrinya, mereka juga mengatakan hal yang senada, “Wah,
ini benar-benar pekerjaan Tuhan. Sungguh hebat, luar biasa!”
Teman-teman lain yang mendengar berita ini semuanya bersyukur dan
terharu.
Setelah dokter yakin benar bahwa kanker itu sudah tidak ada lagi,
saya tinggal menjalani penyinaran sebanyak tiga puluh kali. Akhirnya
saya diizinkan meninggalkan RS setelah dirawat selama kurang lebih
sebulan. Yang tak kalah menakjubkannya, sekalipun saya dirawat di
kamar ber-AC dengan biaya yang tentunya tak sedikit, ternyata Tuhan
secara ajaib juga telah menyediakan biayanya. Keluar dari RS, dokter
tetap menyarankan agar saya menjalani kemoterapi dan minum obat
kanker seumur hidup. Anjuran dokter ini saya lakukan hingga kurang
lebih 8 bulan lamanya. Suatu ketika, pada bulan Agustus 1988, saya
diajak Silvia, untuk mengikuti KKR Kesembuhan Ilahi yang diadakan di
Gedung Menara Era, Senen, Jakarta Pusat. Waktu itu pembicara KKR
mengatakan, “Mengapa Tuhan tidak bekerja secara luar biasa?
Jawabnya, karena pikiran kita selalu meragukan pekerjaan Tuhan.
Karena itu, bila kita ingin mendapatkan kesembuhan ilahi, kita harus
percaya, kita harus beriman 100 persen bahwa Tuhan sanggup
menyembuhkan.”
Setelah khotbah usai, dalam sesi tantangan, akhirnya saya berdoa dan
mengambil keputusan: “Sejak malam ini saya tidak akan lagi minum
obat kanker dan saya tidak mau dikemoterapi. Tuhan, terima kasih,
Engkau sudah menyembuhkan saya secara total. Amin.” Malam itu bagi
saya menjadi malam bersejarah kedua atas penyakit kanker saya. Saya
mengimani bahwa Tuhan Yesus sudah melakukan mukjizat penyembuhan
atas kanker saya secara sempurna. Dan benar, sejak saat itu,
sekalipun saya tidak minum obat kanker dan tidak menjalani
kemoterapi, tapi sakit saya tak pernah kambuh alias 100 persen
sembuh total hingga sekarang.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: 10 Mukjizat yang Terjadi pada Orang Biasa
Penulis: Ginny Awuy
Penerbit: CBN Indonesia, Jakarta 2001
Halaman: 17 — 25